Donald Trump, Ormas Intoleran, dan NKRI
Trump menyerukan saran untuk
melarang muslim masuk AS
Ist / Foto
Beberapa hari ini, publik dunia,
khususnya umat Islam termasuk di negeri kita, terus terbawa pernyataan
anti-Islam yang dilontarkan bakal calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS)
dari Partai Republik, Donald Trump. Senin (7/12), Trump menyerukan saran untuk
melarang muslim masuk AS, termasuk calon imigran, mahasiswa, dan wisatawan.
Ucapan Trump dilontarkan terkait penembakan di San Bernardino, California, yang
menewaskan 14 orang.
Komentar Trump memicu reaksi di AS,
yang merembet ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia, khususnya di media
sosial. Di Inggris muncul petisi online agar Trump dilarang masuk ke negara
itu. Bahkan penulis novel Harry Potter, JK Rowling menyebut, tokoh jahat
rekaannya yang bernama Lord Voldemort tak sejahat Donald Trump. Seorang
miliarder Arab Saudi, Pangeran Alwaleed bin Talal melalui akun Twitter
pribadinya, Sabtu (12/12), juga mengecam keras ucapan Trump sebagai hal
memalukan bagi Partai Republik.
Namun menurut jajak pendapat
terbaru, sebagian besar pendukung Partai Republik tidak terganggu. Sekitar 29
persen dari pendukung Republik memang menyatakan, komentar Trump dinilai
ofensif. Akan tetapi, 64 persen dari pendukung lainnya justru melihat komentar
itu biasa saja.
"Donald Trump memimpin dalam
perlombaan menuju Gedung Putih dari Partai Republik, meskipun setelah
imbauannya untuk melarang muslim masuk ke AS telah memicu kecaman di seluruh
dunia," ucap polling yang diadakan Reuters dan Ipsos, seperti dikutip
Telegraph dan Metrotvnews.com, Sabtu (12/12).
Hal yang menarik adalah tanggapan
Presiden AS, Barack Obama. Menurut presiden yang berayah muslim itu, melawan
umat Islam yang cinta damai, termasuk warga Islam di AS, adalah sesuatu yang
dikehendaki sejumlah kaum radikal Islam, seperti kelompok Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS). Jadi, yang perlu digarisbawahi bahwa perang
melawan kelompok radikal yang intoleran, seperti ISIS atau teroris di mana pun,
jelas bukan perang melawan muslim atau agama Islam.
Oleh sebab itu, sudah pasti Trump
terpancing dengan skenario kaum radikal yang memang menghendaki terjadinya
konflik antara muslim dan nonmuslim, khususnya umat kristiani. Kita perlu
waspada pada pernyataan provokasi Trump dan jebakan kaum radikal. Apalagi, kita
tahu ISIS tengah gencar mewacanakan perang global akhir zaman, sebagaimana
terlihat dari rilis video terbaru mereka tentang penaklukan Kota Roma, yang
menjadi simbol dari pusat kaum nasrani sedunia.
Jika Trump terpancing dan sebagian
besar orang bisa terpicu dengan wacana perang ini, tentu kita bisa membayangkan
sebuah dunia yang penuh konflik dan perang bernuansa agama.
Konteks Indonesia
Jika dikaji lebih lanjut, komentar
Trump mengingatkan penulis pada sepak terjang organisasi masyarakat (ormas)
anarkis dan intoleran yang eksklusif di negeri kita. Bedanya, ucapan Trump
masih merupakan wacana atau rencana, sedangkan ormas intoleran di negeri kita
sudah terbukti mampu memengaruhi pejabat negara, seperti gubernur, wali kota,
atau bupati di beberapa wilayah NKRI guna menutup akses bagi kaum minoritas,
khususnya umat kristiani, untuk membangun tempat ibadah di wilayah yang mereka
klaim sebagai basis mereka.
Kita tentu masih ingat kasus
pembakaran dan penutupan gereja di Singkil, Aceh, beberapa waktu lalu. Agama
pun dijadikan legitimasi bagi pembenaran segala tindakan dan ucapan yang yang
tidak terpuji, termasuk demi kepentingan politik sesaat. Jelas hal seperti itu
amat berpotensi merusak keutuhan rumah yang bernama NKRI yang didirikan
para founding father and mother bagi semua orang, yang menganut beragam agama
dan keyakinan.
Sebagaimana Trump yang melarang
muslim, ormas intoleran juga melarang bahkan menindak hak-hak kaum minoritas
untuk beribadah dengan memanfaatkan kepala daerah. Simak saja kasus penyegelan
GKI Yasmin atau pelarangan Perayaan Asyura bagi umat Islam Syiah oleh
Wali Kota Bogor.
Oleh sebab itu, kita harus waspada
terhadap komentar Trump atau jebakan kaum radikal, termasuk ormas
intoleran. Kita harus belajar dari berbagai konflik SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan) pada masa lalu, seperti konflik Ambon atau Poso. Kita perlu
belajar dari sejarah bahwa konflik atau perang bernuansa agama, entah konflik
Ambon atau Poso, hanya menyebabkan nilai-nilai kemanusian dicampakkan dalam
comberan atas nama agama.
Coba tanyakan sekarang pada puluhan
ribu korban konflik Ambon dan Poso, misalnya, apa yang mereka dapatkan dari
konflik berbau agama? Apalagi dengan kehadiran sebagian pengikut ISIS di
Tanah Air sepulang mereka dari Irak atau Suriah, kita perlu terus meningkatkan
kewaspadaan agar tidak termakan provokasi adu domba antarumat beragama.
Dalam konteks Indonesia, sesama umat
beragama jelas tidak perlu saling bermusuhan hanya gara-gara pernyataan
Donald Trump yang anti-Islam. Pasalnya, sesungguhnya kita punya musuh besar
bersama yang tengah mengancam negeri ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan
penjualan aset bangsa oleh segelintir elite yang jahat, rakus, dan tak punya
rasa malu lagi. Dengan demikian, umat beragama punya tanggung jawab
menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan, bukan menjadi bagian dalam
permasalahan.
Hal yang jauh lebih penting daripada
mengomentari ucapan Trump, mari mengupayakan relasi yang setara dan saling
menghargai. Guna membangun relasi seperti itu, menurut hemat penulis,
masing-masing umat perlu memiliki modal dasar. Modal itu adalah cara pandang
yang positif terhadap pihak lain.
Kecurigaan, prasangka, atau pikiran
negatif sekecil apa pun akan menjadi “virus” atau kendala untuk membangun
relasi yang baik. Karena itulah, kita tidak boleh sampai percaya kepada
perspektif konflik, entah teori benturan peradaban ala Samuel P
Huntington atau komentar Trump yang anti-Islam.
Dengan demikian, kita juga akan
terhindar dari sikap reaktif dan lebih proaktif menawarkan solusi, bukannya
menjadi bagian dari permasalahan bangsa. NKRI yang majemuk pun tetap bisa utuh
dan terhindar dari konflik bernuansa agama yang amat kontraproduktif.
Akhirnya, ketika membalas ucapan
Idul Fitri yang penulis kirim pada Lebaran lalu, Goenawan Mohamad menulis,
“Semoga agama apa pun tak membangun ruang sempit dan Tuhan dibebaskan
sebagaimana Ia membebaskan.”
Penulis adalah kolumnis dan pegiat
Lintas Agama di Surabaya.
Sumber : Sinar Harapan
No comments:
Post a Comment