Sunday, July 31, 2016

NKRI Sengaja menggunakan UUD Pasal 160 KUHP Untuk menutup ruang domokrasi di Papua.



Pintas Generasi Papua

Jumat, 29 Juli 2016

NKRI Sengaja menggunakan UUDPasal 160 KUHP Untuk menutup ruang domokrasi di Papua

 

(London 24 Juni 2016) -Sebuah laporan terbaru oleh Papuans Behind Bars mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan tindakan penangkapan sewenang-wenang untuk membungkam protes di Papua oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2015. Dalam peluncuran laporan yang dilakukan di Sekretariat Amnesti Internasional di London pada 24 Juni , organisasi HAM berbasis di London, TAPOL meminta pemerintah Indonesia untuk menjawab situasi impunitas yang terus berlanjut, kekerasan Negara dan meningkatnya tindakan penangkapan sewenang-wenang di Papua.
"Pemerintah Indonesia harus menghentikan tindakan penangkapan masal dalam demonstrasi damai sebagai wujud kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sesuai dengan kewajiban Indonesia dalam hukum HAM internasional," ujar Todd Biderman, Koordinator TAPOL.
Laporan 28 halaman berjudul Papuan Behind Bars 2015 "Aksi Protes Makin Meninggi, Penangkapan Makin Meningkat: Melihat Situasi di Papua 2015" memperlihatkan bagaimana kebebasan berekspresi dan berkumpul di wilayah ini tetap sangat terbatas, meskipun telah terjadi pembebasan lima narapidana politik yang telah ditahan selama puluhan tahun pada bulan Mei 2015, dan jaminan Presiden Joko Widodo untuk membuka wilayah Papua untuk jurnalis asing.


Berdasarkan data dan testimoni yang dikumpulkan dan diverifikasi oleh Papuan Behind Bars, laporan ini menunjukkan bahwa 1083 orang Papua telah ditangkap secara sewenang- wenang di seluruh Indonesia pada tahun 2015. Ini merupakan jumlah tertinggi penangkapan sewenang-wenang yang didokumentasikan dalam satu tahun melalui pendokumentasian komprehensif yang kami lakukan sejak tahun 2012. Sebanyak 80% dari mereka yang ditahan telah ditangkap karena berpartisipasi atau merencanakan demonstrasi secara damai.
Laporan ini menunjukkan adanya perubahan pola tuduhan. Dalam perkembangan yang positif, penggunaan tuduhan melakukan tindakan makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia terhadap para tahanan politik menurun secara signifikan dan penggunaan UU Darurat kontroversial 12/1951 berhenti sama sekali. Namun, penggunaan tuduhan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP Indonesia telah meningkat.
"Eskalasi peningkatan tindakan penangkapan sewenang-wenang menimbulkan keprihatinan serius bahwa pemerintah Indonesia sengaja menggunakan Pasal 160 KUHP untuk mengkriminalisasi protes politik secara damai dan membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul di masyarakat sipil Papua," ujar Todd Biderman, TAPOL
Laporan itu juga menunjukkan bahwa, meskipun jumlah kasus penyiksaan dalam tahanan pada proses penangkapan dan penahanan menurun secara signifikan, namun tindak penyiksaan di luar proses penahanan tetap sering terjadi. Laporan ini juga membuktikan bahwa perlakuan buruk terhadap tahanan terus meningkat. Pada 2015, tercatat 690 kasus perlakuan buruk terhadap tahanan, empat kali lebih banyak dari tahun 2014. Kesaksian dari narapidana politik menyoroti keprihatinan mereka karena kunjungan oleh keluarga sering ditolak, terus menerus di bawah pengawasan serta kurangnya akses atas perawatan medis.
Selain itu, laporan menampilkan kekerasan negara yang sedang berlangsung dan impunitas pada aparat keamanan negara. Setidaknya 11 orang tewas akibat kekerasan negara di Papua pada tahun 2015. Budaya impunitas tetap tertanam di antara pasukan keamanan, pelaku penembakan yang mematikan ke empat remaja di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, pada bulan Desember 2014, dan masih belum diproses secara hukum.
Publikasi laporan muncul pada saat aktor nasional, regional dan internasional nasional menyuarakan kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Pada peluncuran laporan, DR. Budi Hernawan, dosen di Universitas Paramadina di Jakarta menyatakan: "kekerasan Negara merupakan tata kelola Papua selama lima puluh tahun terakhir. Penelitian doktoral saya tentang praktik penyiksaan di Papua sejak tahun 1963-2010 menegaskan pola ini. Aparat keamanan negara Indonesia tidak ragu, tidak hanya menggunakan kekerasan yang berlebihan terhadap rakyat Papua tetapi juga untuk menunjukkan bahwa mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap tubuh-tubuh Papua. "
Pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn pada pertemuan baru-baru ini Parlemen Internasional untuk Papua menegaskan bahwa hak asasi manusia dan keadilan "menjadi landasan kebijakan luar negeri, landasan hubungan kami [Inggris] dengan setiap negara lain."
masalah serius pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penangkapan sewenang-wenang, eksekusi, dan penyiksaan di Papua diangkat dalam sidang dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Juni 2016 oleh delegasi pemerintah dari Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Kedua delegasi mendesak Dewan HAM PBB dan Pemerintah Indonesia bekerja sama untuk memfasilitasi kunjungan David Kaye, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi agar berkunjung ke Papua.
Ini merupakan gaung dari janji2 yg dibuat pemerintah indonesia sewaktu sessi UPR sebelumnya di 2012; janji2 yg sampai sekarang belum ditindaklanjuti. Catatan hak asasi manusia di Indonesia akan dilaporkan lagi di bawah sorotan internasional untuk UPR negara pada tahun 2017. Laporan Papuan Behind Bars 2015 menyerukan Indonesia untuk "Memberikan izin untuk akses bebas dan tak terbatas untuk semua Pelapor Khusus PBB yang ingin mengunjungi dan melaporkan kondisi Papua. "Menjelang UPR 2017, TAPOL mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan yang berarti sejalan dengan komitmen hak asasi manusia internasional untuk mengakhiri penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap tahanan, serta untuk mengatasi impunitas yang sedang berlangsung di dalam institusi keamanan.
Kontak Media:
Todd Biderman (Koordinator, TAPOL)
todd@tapol.org
+44 7847 575 064
Adriana Sri Adhiati (Koordinator, TAPOL)
adriana@tapol.org
+44 7444 058 975
Salam, TAPOL

Source: https://pintasgenerasipapua.blogspot.co.id/2016/07/nkri-sengaja-menggunakan-uud-pasal-160.html?spref=fb


SUMBER:  http://tapol.org/sites/default/files/favicon.ico

Suara Rakyat Papua

Thursday, July 28, 2016

Donald Trump, Ormas Intoleran, dan NKRI



 Donald Trump, Ormas Intoleran, dan NKRI
Trump menyerukan saran untuk melarang muslim masuk AS
18 Desember 2015 18:20 Tom Saptaatmaja OPINI dibaca: 12340
http://sinarharapan.co/sh_img/15/12/18/l/1512180272118341rts6wr2780x390.jpg
Ist / Foto
Beberapa hari ini, publik dunia, khususnya umat Islam termasuk di negeri kita, terus terbawa pernyataan anti-Islam yang dilontarkan bakal calon presiden (capres) Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik, Donald Trump. Senin (7/12), Trump menyerukan saran untuk melarang muslim masuk AS, termasuk calon imigran, mahasiswa, dan wisatawan. Ucapan Trump dilontarkan terkait penembakan di San Bernardino, California, yang menewaskan 14 orang. 
Komentar Trump memicu reaksi di AS, yang merembet ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia, khususnya di media sosial. Di Inggris muncul petisi online agar Trump dilarang masuk ke negara itu. Bahkan penulis novel Harry Potter, JK Rowling menyebut, tokoh jahat rekaannya yang bernama Lord Voldemort tak sejahat Donald Trump. Seorang miliarder Arab Saudi, Pangeran Alwaleed bin Talal melalui akun Twitter pribadinya, Sabtu (12/12), juga mengecam keras  ucapan Trump sebagai hal memalukan bagi Partai Republik. 

Namun menurut jajak pendapat terbaru, sebagian besar pendukung Partai Republik tidak terganggu. Sekitar 29 persen dari pendukung Republik memang menyatakan, komentar Trump dinilai ofensif. Akan tetapi, 64 persen dari pendukung lainnya justru melihat komentar itu biasa saja. 

"Donald Trump memimpin dalam perlombaan menuju Gedung Putih dari Partai Republik, meskipun setelah imbauannya untuk melarang muslim masuk ke AS telah memicu kecaman di seluruh dunia," ucap polling yang diadakan Reuters dan Ipsos, seperti dikutip Telegraph dan Metrotvnews.com, Sabtu (12/12).

Hal yang menarik adalah tanggapan Presiden AS, Barack Obama. Menurut presiden yang berayah muslim itu, melawan umat Islam yang cinta damai, termasuk warga Islam di AS, adalah sesuatu yang dikehendaki sejumlah kaum radikal  Islam, seperti  kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Jadi, yang perlu digarisbawahi bahwa perang melawan kelompok radikal yang intoleran, seperti ISIS atau teroris di mana pun, jelas bukan perang melawan muslim atau agama Islam.

Oleh sebab itu, sudah pasti Trump terpancing dengan skenario kaum radikal yang memang menghendaki terjadinya konflik antara muslim dan nonmuslim, khususnya umat kristiani. Kita perlu waspada pada pernyataan provokasi Trump dan jebakan kaum radikal. Apalagi, kita tahu ISIS tengah gencar mewacanakan perang global akhir zaman, sebagaimana terlihat dari rilis video terbaru mereka tentang penaklukan Kota Roma, yang menjadi simbol dari pusat kaum nasrani sedunia. 

Jika Trump terpancing dan sebagian besar orang bisa terpicu dengan wacana perang ini, tentu kita bisa membayangkan sebuah dunia yang penuh konflik dan perang bernuansa agama.

Konteks Indonesia
Jika dikaji lebih lanjut, komentar Trump mengingatkan penulis pada sepak terjang organisasi masyarakat (ormas) anarkis dan intoleran yang eksklusif di negeri kita. Bedanya, ucapan Trump masih merupakan wacana atau rencana, sedangkan ormas intoleran di negeri kita sudah terbukti mampu memengaruhi pejabat negara, seperti gubernur, wali kota, atau bupati di beberapa wilayah NKRI guna menutup akses bagi kaum minoritas, khususnya umat kristiani, untuk membangun tempat ibadah di wilayah yang mereka klaim sebagai basis mereka. 

Kita tentu masih ingat kasus pembakaran dan penutupan gereja di Singkil, Aceh, beberapa waktu lalu. Agama pun dijadikan legitimasi bagi pembenaran segala tindakan dan ucapan yang yang tidak terpuji, termasuk demi kepentingan politik sesaat. Jelas hal seperti itu amat berpotensi merusak keutuhan rumah yang bernama NKRI  yang didirikan para founding father and mother bagi semua orang, yang menganut beragam agama dan keyakinan. 

Sebagaimana Trump yang melarang muslim, ormas intoleran juga melarang bahkan menindak hak-hak kaum minoritas untuk beribadah dengan memanfaatkan kepala daerah. Simak saja kasus penyegelan GKI Yasmin atau  pelarangan Perayaan Asyura bagi umat Islam Syiah oleh Wali Kota Bogor. 

Oleh sebab itu, kita harus waspada terhadap komentar Trump atau jebakan  kaum radikal, termasuk ormas intoleran. Kita harus belajar dari berbagai konflik SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) pada masa lalu, seperti konflik Ambon atau Poso. Kita perlu belajar dari sejarah bahwa konflik atau perang bernuansa agama, entah konflik Ambon atau Poso, hanya menyebabkan nilai-nilai kemanusian dicampakkan dalam comberan atas nama agama. 

Coba tanyakan sekarang pada puluhan ribu korban konflik Ambon dan Poso, misalnya, apa yang mereka dapatkan dari konflik berbau agama?  Apalagi dengan kehadiran sebagian pengikut ISIS di Tanah Air sepulang mereka dari Irak atau Suriah, kita perlu terus meningkatkan kewaspadaan agar tidak termakan provokasi adu domba antarumat beragama.

Dalam konteks Indonesia, sesama umat beragama jelas  tidak perlu saling bermusuhan hanya gara-gara pernyataan Donald Trump yang anti-Islam. Pasalnya, sesungguhnya kita punya musuh besar bersama yang tengah mengancam negeri ini, seperti korupsi, kemiskinan, dan penjualan aset bangsa oleh segelintir elite yang jahat, rakus, dan tak punya rasa malu lagi. Dengan demikian, umat beragama punya tanggung jawab menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan, bukan menjadi bagian dalam permasalahan.  

Hal yang jauh lebih penting daripada mengomentari ucapan Trump, mari mengupayakan relasi yang setara dan saling menghargai. Guna membangun relasi seperti itu, menurut hemat penulis, masing-masing umat perlu memiliki modal dasar. Modal itu adalah cara pandang yang positif terhadap pihak lain. 

Kecurigaan, prasangka, atau pikiran negatif sekecil apa pun akan menjadi “virus” atau kendala untuk membangun relasi yang baik. Karena itulah, kita tidak boleh sampai percaya kepada perspektif konflik, entah  teori benturan peradaban ala Samuel P Huntington atau komentar Trump yang anti-Islam. 

Dengan demikian, kita juga akan terhindar dari sikap reaktif dan lebih proaktif menawarkan solusi, bukannya menjadi bagian dari permasalahan bangsa. NKRI yang majemuk pun tetap bisa utuh dan terhindar dari konflik bernuansa agama yang amat kontraproduktif. 

Akhirnya, ketika membalas ucapan Idul Fitri yang penulis kirim pada Lebaran lalu, Goenawan Mohamad menulis, “Semoga agama apa pun tak membangun ruang sempit dan Tuhan dibebaskan sebagaimana Ia membebaskan.”
  
Penulis adalah kolumnis dan pegiat Lintas Agama di Surabaya.

Sumber : Sinar Harapan